Akademisi hukum Unmul, Castro dan Ketua Badan Kehormatan DPRD Kaltim, Subandi
MEDIASATYA.CO.ID – Badan Kehormatan (BK) DPRD Kalimantan Timur (Kaltim) mengambil langkah tegas dengan berencana memanggil salah satu anggotanya, berinisial AG, terkait unggahan di media sosial yang dinilai melanggar etika pejabat publik dan berpotensi menimbulkan keresahan di masyarakat.
Ketua BK DPRD Kaltim, Subandi, membenarkan rencana pemanggilan tersebut pada Jumat (10/10/2025).
Ia menilai pernyataan AG di media sosial tidak pantas dilakukan oleh seorang wakil rakyat.
“Kalau pernyataannya sudah bersifat terbuka dan berpotensi menimbulkan keresahan, tentu itu tidak pantas dilakukan oleh pejabat publik. Kita ini wakil rakyat, bukan komentator bebas di media sosial,” ujar Subandi.
Tanggung Jawab Etika di Ruang Digital
Subandi menegaskan, setiap anggota dewan memiliki tanggung jawab moral dan etika dalam menyampaikan pendapat, termasuk di ruang digital. Menurutnya, media sosial memang bisa menjadi sarana aspirasi, tetapi tanpa kendali etika justru dapat merusak citra lembaga.
“BK akan menelusuri lebih jauh. Kami akan panggil yang bersangkutan untuk klarifikasi, setidaknya secara lisan dulu. Ini agar ada penjelasan langsung terkait maksud pernyataannya,” jelasnya.
Ia juga mengingatkan pentingnya menjaga marwah DPRD sebagai institusi perwakilan rakyat. Kritik atau pandangan politik, kata Subandi, sebaiknya disampaikan melalui forum resmi lembaga, bukan media sosial yang rentan disalahartikan publik.
“Kalau ingin menyampaikan sesuatu yang serius, gunakan forum resmi. Jangan sampai seolah memprovokasi publik dengan bahasa yang keras di ruang terbuka,” tegasnya.
Unggahan AG yang menjadi polemik itu berisi seruan kepada aparat agar menindak pihak-pihak yang dianggap menyebar fitnah dan memecah belah warga Kaltim. Namun gaya penyampaiannya yang keras dan konfrontatif dinilai tidak pantas bagi seorang legislator.
“Apapun konteksnya, kata-kata yang berpotensi menimbulkan keresahan tetap tidak bisa dibenarkan. Pejabat publik harus menjadi contoh dalam beretika, bukan menambah persoalan di ruang digital,” tambah Subandi.
BK DPRD Kaltim memastikan akan memproses kasus ini sesuai mekanisme yang berlaku.
“Kami tidak ingin isu ini menjadi bola liar. BK akan bertindak sesuai prosedur agar citra lembaga tetap terjaga,” pungkasnya.
Akademisi: DPRD Gagal Pahami Etika dan Hukum Pejabat Publik
Kasus ini juga mendapat sorotan dari Herdiansyah Hamzah, akademisi hukum Universitas Mulawarman (Unmul).
Ia menilai dua anggota DPRD Kaltim, berinisial AG dan AF, gagal memahami batas etika dan hukum sebagai pejabat publik setelah pernyataan mereka di media sosial dinilai mengandung unsur Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA).
“Sederhananya, ada semacam kegagalan anggota DPRD dalam memahami etika pejabat publik,” ujar Herdiansyah, yang akrab disapa Castro.
Menurutnya, pernyataan bermuatan SARA bukan hanya melanggar etika, tapi juga berpotensi menabrak hukum.
Ia menegaskan, sumpah jabatan anggota dewan sudah mencakup kewajiban menjaga ucapan dan perilaku.
“Kalau mereka sudah bersumpah, artinya wajib menjaga tindak-tanduknya. Termasuk memahami aturan hukum yang berlaku. Masa mereka tidak membaca Undang-Undang ITE?” tegasnya.
Castro menjelaskan, Pasal 28 ayat (2) UU ITE secara tegas melarang penyebaran ujaran kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA, dengan ancaman pidana maksimal enam tahun penjara.
“Ucapan bermuatan SARA di media sosial bisa masuk ranah pidana. Itu sudah jelas dalam pasal tersebut,” katanya.
Ia juga mengkritik kebiasaan sebagian politisi yang berbicara dulu sebelum membaca aturan.
“Beda dengan kami di kampus, kami baca dulu baru bicara. Mereka seharusnya memahami aturan hukum sebelum berkomentar di ruang publik,” sindirnya.
Castro bahkan menawarkan agar anggota dewan mengikuti kelas khusus etika pejabat publik.
“Saya siap menyediakan kelas kalau memang teman-teman dewan ingin belajar soal etika pejabat publik,” ucapnya.
Menurutnya, penyelesaian kasus semacam ini bisa ditempuh lewat dua jalur: Badan Kehormatan DPRD untuk ranah etik, dan aparat penegak hukum jika memenuhi unsur pidana sesuai UU ITE.
Solidaritas Wartawan Kaltim Kecam Ujaran Bernuansa SARA
Polemik ini juga mendapat perhatian dari Solidaritas Wartawan Kaltim (SWK). Dalam konferensi pers di Kafe Kopi Pian, Samarinda, Kamis (9/10/2025), aliansi jurnalis itu menyoroti pentingnya etika dan profesionalisme pejabat publik dalam menggunakan media sosial.
Perwakilan SWK, Oktavianus, mengingatkan agar pejabat publik berhati-hati dalam berucap di ruang digital dan menghormati proses hukum yang berjalan.
“Pejabat publik yang sedang berperkara sebaiknya berbicara sesuai prosedur hukum, tanpa mendahului proses hukum itu sendiri,” katanya.
SWK juga menilai, pernyataan dua anggota DPRD tersebut melebar ke isu politis dan berpotensi memperkeruh situasi.
“Kita hormati proses hukum yang sedang berjalan. Jangan terburu-buru menghakimi atau membentuk opini publik sebelum ada keputusan resmi,” tambah Faisal, anggota SWK lainnya.
Aliansi ini juga mengingatkan jurnalis untuk tetap berpegang pada kode etik jurnalistik, menjaga keseimbangan pemberitaan, dan memverifikasi kebenaran informasi sebelum disebarkan.
“Kami tidak masuk ke ranah hukum, tapi ingin mengingatkan tanggung jawab kita sebagai pilar keempat demokrasi,” ujar Oktavianus.
SWK menilai konflik bernuansa SARA di media sosial yang melibatkan pejabat publik bisa mengancam kondusivitas daerah, terutama bila disebarkan melalui akun dengan banyak pengikut.
“Hal-hal yang bisa memicu reaksi besar di masyarakat seharusnya diantisipasi dengan kedewasaan,” ucap Anjas, anggota SWK.
Menutup konferensi pers, Oktavianus menyerukan agar para anggota DPRD Kaltim fokus pada kerja-kerja substantif ketimbang adu opini di media sosial.
“Daripada ribut di media sosial, lebih baik gunakan platform itu untuk membantu masyarakat,” tegasnya. (Redaksi)