MEDIASATYA.CO.ID – Suasana di GOR 27 September pagi itu terasa pengap dan menyengat. Ribuan mahasiswa baru memadati ruangan yang sesak, duduk rapat tanpa celah.Udara panas seperti menyimpan sesuatu—bukan sekadar suhu Samarinda di musim kering, tapi juga kemarahan yang perlahan mendidih di dada mahasiswa.
Dalam ruang yang bising itu, Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB) Universitas Mulawarman tahun 2025 digelar. Tapi alih-alih menjadi oase awal perjumpaan dengan dunia akademik, acara ini berubah menjadi mimbar politik dan panggung kekuasaan.
YA, pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB) Universitas Mulawarman tahun 2025 yang semestinya menjadi ruang edukatif dan orientatif justru menyulut gelombang kritik tajam.
Beragam ekspresi kemarahan mahasiswa tergambar di time line sosial media Kalimantan Timur.
Mereka mengkritik acara yang digelar di GOR 27 September itu berubah menjadi panggung kekuasaan dan militerisme, Selasa (5/8/2025).
Hal itu membuat banyak pihak mempertanyakan arah dan nilai yang ditanamkan Unmul kepada mahasiswa barunya.
Terlebih lagi penyelenggaraan PKKMB yang kacau balau disajikan BEM Unmul, mulai dari waktu yang ngaret hingga beberapa agenda pengenalan organisasi kampus yang dibatalkan sepihak.
Tak hanya mahasiswa, dosen Fakultas Hukum Unmul, Herdiansyah Hamzah—akrab disapa Castro—juga turut angkat suara. Ia menyayangkan orientasi PKKMB tahun ini yang dinilai menjauh dari tradisi akademik dan semangat kebebasan berpikir.
“Bukankah ini pengenalan kehidupan kampus, bukan pengenalan kekuasaan? Sayang sekali, saat pertama kali mahasiswa baru menginjakkan kaki di kampus, mereka justru langsung diajarkan ‘bermesraan’ dengan kekuasaan,” ujar Castro, Rabu (6/8/2025) pagi.
Sorotan pertama Castro tertuju pada kehadiran Wakil Gubernur Kaltim, Seno Aji, sebagai keynote speaker.
Dalam pidatonya, Seno menyampaikan sejumlah pesan tentang pembangunan dan semangat kebangsaan.
Namun, alih-alih mendapatkan sambutan hangat, ribuan mahasiswa justru menyorakinya, terutama karena program pendidikan gratis (Gratispol) yang dijanjikan belum juga menyentuh banyak kalangan.
Tak hanya itu, mahasiswa dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) bahkan memilih aksi membelakangi panggung sebagai bentuk protes simbolik saat Seno Aji mulai berbicara.
Sesi berikutnya pun tak kalah kontroversial. Kehadiran anggota Kodam VI/Mulawarman untuk menyampaikan materi bertajuk “Kehidupan Berbangsa, Bernegara, Jati Diri Bangsa dan Pembinaan Kesadaran Bela Bangsa” justru makin memperkeruh suasana.
Mahasiswa dari tribun atas secara spontan menyanyikan lagu “Buruh Tani” dan Mars Mahasiswa—lagu-lagu yang lekat dengan perlawanan terhadap otoritarianisme.
Reaksinya pun mengejutkan. Dalam video yang beredar luas di media sosial, salah satu anggota Kodam justru menantang mahasiswa yang bernyanyi untuk turun ke depan. Insiden ini langsung memantik kritik lebih dalam soal militerisasi ruang akademik.
Castro menyebut hal itu sebagai bentuk indoktrinasi militer yang tak semestinya hadir di lingkungan kampus.
“Kalau ingin menyampaikan materi cinta tanah air, kenapa tidak rektor atau dosen pengampu kewarganegaraan dan pancasila saja? Kenapa harus tentara?” kritiknya.
Ia juga menekankan bahwa nilai-nilai kedisiplinan dalam dunia akademik bisa mengacu pada figur-figur sipil seperti Mohammad Hatta, bukan pada disiplin gaya barak yang cenderung menekan dan membungkam.
“Inilah yang harus dilawan. Mahasiswa jangan diam dan permisif. Kampus bukan tempat untuk mengindoktrinasi kekuasaan, apalagi militer,” tegasnya.
Mahasiswa Bicara Lewat Aksi
Aksi simbolik mahasiswa pada PKKMB Unmul 2025 menandai gelombang penolakan terhadap praktik-praktik seremonial yang dinilai jauh dari nilai-nilai kampus.
Mereka menuntut orientasi pendidikan yang berpihak pada kebebasan berpikir, etika akademik, dan keberpihakan pada publik—bukan kepatuhan pada penguasa.
PKKMB Unmul memang menghadirkan ribuan mahasiswa baru dari berbagai fakultas.
Namun alih-alih menjadi ruang tumbuhnya nalar dan dialog kritis, acara itu kini dikenang sebagai momen ketika suara mahasiswa kembali menggema—menolak kampus dijadikan alat legitimasi kekuasaan. (Redaksi)
















