“Tidak ada yang dapat meruntuhkan keyakinan kita, selain diri kita sendiri,” Aktor, sutradara, penulis naskah teater Kaltim, Fachri Mahayupa
MEDIASATYA.COM – Siapapun yang menang dan kalah, penghargaan atau kekecewaan itu tak sebanding dengan kekayaan proses teater itu sendiri. Semua hal pasti berlalu. Sedih akan berlalu, senang pun demikian. Keduanya hanya meninggalkan pelajaran.
Bahwa menang dan kalah, keduanya sama-sama menciptakan beban. Mari rayakan kemenangan dan kekalahan secukupnya. Ayo bersiap untuk latihan, pelajaran itu modal untuk membaca masa depan.
INILAH catatan Fachri Mahayupa selama penjurian lomba monolog AKSARA 2025 yang diselenggarakan Teater Bumi Berau.
Sedikitnya ada 11 pertunjukkan teater sekolah yang dinilai dari Senin (13/1/2025) hingga Jumat (17/1/2025). Dari 10 naskah yang tersedia, hanya 5 naskah yang dipilih 11 kelompok dalam lomba monolog AKSARA 2025.
Di antaranya Wanci (Imas Sobariah), Prodo Imitatio (Arthur S Nalan), Marsinah Menggugat (Ratna Sarumpaet), Tolong (Nano Riantiarno) dan Aeng (Putu Wijaya).
Terimalah kejujuran ini dengan hati yang luas, pikiran yang lapang dan kesadaran yang menetas.
1. WANCI Karya Imas Sobariah
A. Teater Oase
Wanci Teater Oase menunjukkan keberanian dalam langkah eksplorasi teks Imas Sobariah.
Kemungkinan lain tampak jelas dari sajian pertunjukkan Wanci dari kelompok Teater Oase. Baik dari segi bentuk visual pemanggungan, maupun penafsiran tekstual.
Jujur saja, hal itu membuat saya terkejut melihat Wanci seperti yang disajikan Teater Oase. Rasa-rasanya mata saya sudah cukup bosan melihat pertunjukkan Wanci yang begitu-gitu saja.
Pemikiran Bertold Brecht dan Augusto Boal mengiringi aktor dari awal hingga akhir pertunjukkan. Penyaji secara tegas melakukan teknik V-effect alias alienasi atau penyadaran bahwa apa yang di atas panggung hanyalah sebuah pertunjukkan. Kendati monolog hampir dipastikan membuka ruang penyadaran itu.
Tampak terlihat saat aktor menegur penonton yang memotret menggunakan blitz, hingga respons kepada penata bunyi yang keliru.
Spirit Teater Tertindas yang dipopulerkan Augusto Boal pun terendus saat aktor mendobrak masuk ke medan penonton. Aktor bermain dan tampak serius mengajak penonton terlibat ke dalam pertunjukan. Sehingga terjadi peleburan antara pemain dan penonton dalam satu medan dan dimensi yang sama.
Salah satu adegan yang meninggalkan kesan yang dalam buat saya. Dramatisasi suasana cukup berhasil dihadirkan hanya dengan cahaya putih dari senter, serta dominasi kegelapan yang berada di gedung pertunjukkan, juga tak ketinggalan cahaya smartphone yang mencuri-curi untuk merekam adegan aktor.
Ide dan gagasan sutradara begitu kuat dan besar dalam pertunjukkan Wanci, Teater Oase. Sebuah lompatan penyutradaraan yang di luar ekspektasi saya saat menjadi juri di AKSARA 2025 Berau.
Namun lagi-lagi panggung merupakan hakim yang palih jujur. Pengalaman menikmati penyajian tak terlepas dari ketepatan eksekusi artistik.
Lompatan keberanian untuk menetapkan rumah sakit jiwa sebagai latar cerita dalam lakon monolog itu baik, tapi belum tergarap dengan serius oleh sutradara.
Kain biru metalic itu tak cukup menyampaikan bahwa tokoh berada di rumah sakit. Sehingga apa yang ingin disampaikan batal disebabkan oleh kegagalan atistik yang dihidangkan.
Dalam hati saya, kenapa gak ditulis gede-gede di atas panggung “Ini rumah sakit,” sekalian.
Celakanya, saat pertunjukkan berakhir dan lampu gedung dinyalakan, terpampang dengan megah sebuah gerbang yang di atasnya terdapat tanda tambah merah.
Usut punya usut itu merupakan bagian dalam pertunjukkan, jadi penonton yang melintasi gerbang itu, duduk menikmati pertunjukkan Wanci Teater Oase tanpa mereka sadari masuk ke dalam medan imajinasi yang diciptakan penyaji.
“Ternyata juri ini gila, penonton semua gila, orang-orang yang ada di dalam gedung orang gila. Anjing, ini teror yang mahal,” kata saya sambil geleng-geleng kepala.
Tapi kenapa gak sekalian di gerbang itu diekspose artistik keberadaannya? Kenapa diletakkan begitu saja tanpa ada penyikapan artistik yang serius.
Gagasan sutradara yang mahal, dibatalkan dengan kegagalan artistik.
Belum lagi pranata tata rias dan busana yang belum tergarap dengan serius. Penciptaannya begitu amat seadanya, yang penting ada, seperti tak ada pertimbangan artistik pada hal ini. Tata panggung dan busana justru seperti berkelahi satu sama lain di atas panggung.
Namun pekerjaan rumah terbesar Teater Oase, lebih kepada persoalan aktor yang belum mampu mengejar harapan artistik sutradara.
Mudah sekali melihat aktor yang teks dialognya mengawang di atas kepalanya, bukan merasuk dalam tubuh dan jiwanya. Keragu-raguan akting masih jadi momok bagi aktor muda kita, tapi tak semua. Di beberapa bagian aktor cukup mampu menarik intensi penontonnya, kok.
Kesiapan tubuh aktor juga jadi catatan yang harus diperhatikan. Vokal yang kedodoran di atas panggung, misal artikulasi. Pemilihan bentuk kekecewaan atau kesedihan teriakan, raungan yang kurang dinamic. Pun masih banyak ditemukan dialog yang fals, dialog yang tujuan diucapkannya entah kemana. Motif seharusnya menjadi penting atas laku yang tertera di atas panggung.
Jangan-jangan sett yang dibuat terbatas di atas panggung, membuat aktor banyak mengulangi garis blocking yang itu-itu saja. Harusnya dengan nada dasar yang dipilih, kebebasan daya ungkap jadi nomor satu. Tapi dengan jujur panggung memperlihatkan aktor yang tampak seperti orang yang kehilangan kebebasannya.
Jika benar-benar kita meyakini bahwa monolog adalah ujian aktor, maka semestinya perhatian sutradara kepada aktor harus lebih besar dan kuat, ketimbang pranata artistik yang lain, termasuk ide dan gagasannya sendiri.
B. Teater Angin
Aktor Teater Angin yang memerankan Icih Prihatini dalam naskah Wanci karya Imas Sobariah jadi salah satu pemeran yang menyita perhatian saya.
Sutradara sepertinya harus banyak-banyak bersyukur menemukan dia (aktor).
Terlepas dia anak SMA yang punya talenta atau perempuan yang sungguh dan tekun berlatih memerankan tokohnya.
Namun saya harus bilang, aktor benar-benar mampu menuntaskan tanggungjawabnya dengan mulus dari awal hingga akhir pertunjukkan.
Ya, aktor menjelma jadi sosok yang jujur dan sabar memerankan tokohnya, tanpa akting yang berlebihan.
Lamat-lamat ia membawa pertunjukkan Wanci hingga selesai. Informasi terkait plot dan alur cerita begitu utuh diterima tanpa harus mikir berat-berat.
Ditambahkan dengan kemampuan dasar keaktoran yang lumayan baik, dari kejelasan vokal, ketenangan tubuh, kekuatan nafas hingga dinamika emosi yang piawai ditunjukkan di atas panggung.
Cara aktor memiliki dialog dan perasaan tokohnya yang paling mahal dalam pertunjukkan Wanci Teater Angin.
Keaktorannya tampak holistik, dialog tak hanya sekadar diucapkan keluar, namun saya bisa merasakan bagian lain yang tak terlihat di atas panggung. Mulai dari rasa, hingga situasi kebatinan.
Aktor mampu bermain di lapisan-lapisan emosi yang banyak dalam satu waktu. Bayangkan saja saat ia menceritakan Kang Usup, dimana rasa bahagia, penuh harap, kecewa, amarah dan kepasrahan bisa terjadi dalam satu waktu.
Akting 3D inilah yang membuat saya terseret dalam kisah yang disampaikan aktor yang memerankan Icih Prihatini.
Naskah Wanci memang sudah enak untuk dibaca dan dipahami sebagai teks. Imas Sobariah cukup kuat meletakkan porsi adegan demi adegan dalam naskah selaras dengan tangga dramatic alur maju.
Pertumbuhan emosi dari setiap konflik yang diciptakan Imas Sobariah dalam teks cukup runut dan mudah diikuti arahnya.
Mulai dari prolog yang terang benderang menjelaskan identifikasi tokoh Icih Prihatini. Hingga saat Icih membuka rahasianya satu per satu, mulai dari ibunya yang pelacur dan bapaknya germo, Kang Usup yang ternyata juga germo, anak perempuannya diperkosa lalu terjebak di lingkaran pelacuran, anak laki-lakinya yang pacaran sama banci tua, dan cucunya Aep yang pergi entah kemana lantaran ketakutan akibat hampir mati ditabrak kereta api karena diajak bunuh diri sama neneknya.
Bagi sutradara dan aktor pemula, seharusnya naskah Wanci memang cocok jadi rujukan untuk dimainkan, karena teksnya lugas memberikan penanda terkait value dramatic setiap konflik.
Proses riset dan observasinya juga mudah dijangkau imajinasi, tak seberat naskah-naskah lainnya di AKSARA 2025.
Bisa dibilang sutradara mampu mengeluarkan potensi aktornya, atau aktornya yang memang potensinya kuat dari sananya
Tapi pilihan opening dengan cahaya yang dipadupadankan dengan bunyi-bunyi keheningan yang tepat jadi kunci meletakkan arah garapannya.
Bibit-bibit adegan yang mendukung tak memaksa aktor melebihi porsinya, tertawa ya karena lucu, nangis yang karena sedih, marah ya karena kesal.
Wanci Teater Angin disampaikan begitu tenang dan menghanyutkan
Sutradara benar-benar mampu mendudukan pertunjukan dengan pas, sejalan dengan potensi besar aktor yang ia miliki
Meski ada beberapa problem, seperti musik dan tata rias & kostum yang tak tersentuh optimal
Lalu penataan sett panggung yang kaku, yang berdampak pada blocking aktor yang berulang
To be honest, rasa-rsanya di penghujung adegan sutradara seperti kehabisan bensin idenya
Ya, ada baiknya sutradara jangan terlalu cepat berpuas diri dalam penciptaan visual bentuk pemanggungannya, juga jangan terlalu berpasrah dengan auto text naskah Wanci itu sendiri. Sehingga tercipta penemuan capaian artisitik yang jauh lebih kreatif, imajinatif dan tak begitu-gitu saja
Namun dari belasan pertunjukkan, sajian Wanci oleh Teater Angin bisa dikatakan paling minim terjadi kerusakan artistik hampir di semua sisi.
C. Teater Aswara
Pertunjukkan Wanci Teater Aswara benar-benar membuat saya jatuh hati.
Saya sangat suka sekali dengan ambisi aktor yang begitu dahayat di atas panggung
Kegilaan dan keriangan aktor begitu gurih dan sedap dinikmati di panggung SMAN 4 Berau
Tubuh dan kegilaannya benar-benar satu frekuensi di atas panggung
Pemilihan bentuk gestikulasi aktor begitu ciamik, saya sangat suka saat tangannya membentuk huruf L jika sedang beradegan
Jujur saja, aktor perempuan ini salah satu jagoan di antara 10 aktor lainnya
Sutradara juga mampu menaruh bibit-bibit adegan yang memunculkan banyak kejutan yang tak terduga di atas panggung
Sentuhan sutradara dalam mengarahkan jalan pikir dan perasaan aktor terasa sangat terang
Seluruh properti yang di atas panggung berfungsi dengan baik menunjang permainan makro dan mikro aktor
Sehingga aktor tidak sulit menemukan motif dirinya bergerak, alasannya jingkrak sana jingkrak sini memang sudah cukup kuat.
Hal itu menciptakan kemungkinan baru yang tak ada tertera di dalam teks. Kemampuan sutradara menata hal tersebut memang layak diacungi jempol.
Meski secara estetik, panggung tampak berantakan dan tak beraturan, namun dari sisi substansi panggung begitu menyatu dengan tubuh dan kegilaaan aktor yang sengaja dibentuk sedari awal.
Namun lagi-lagi, point of view (POV) monolog adalah aktor.
Kesiapan perangkat keaktoran, mulai dari tubuh, pikiran dan perasaan harus matang dan siap saat berada di panggung
Aktor yang memerankan Icih Prihatini dalam Wanci Teater Aswara barangkali cukup belajar untuk menikmati permainannya sendiri
Dengan kaca mata telanjang saja, saya melihat aktor seperti diburu waktu. Saya cek timer pertunjukkan, betapa kagetnya saya, naskah Wanci diselesaikan dalam kurun waktu 28 menit? Tanpa ada penyuntingan sana-sini di naskahnya. Itu gila, lho!
Padahal ini bukan PEKSIMINAS atau FLS2N yang membatasi waktu pertunjukkan monolog yang tidak ngotak, bagi saya.
AKSARA 2025 memfasilitasi 70 menit untuk peserta bebas berekspresi di atas panggung mulai dari penyusunan sett hingga pertunjukkan berakhir.
Dalam kertas notes, saya sampai menulis “AKTOR NIKMATI DIALOG!!!” pakai kapital dan tanda seru tiga, lho. Saking gemesnya.
Karena aktor Wanci Teater Aswara sudah punya modal besar, mulai dari confidence (percaya diri) tinggi, ambisi yang hebat dan Sri Panggung alias pesona aktor yang cukup kuat
Aktor punya kekuatan menyerap mata puluhan orang yang menontonnya dengan sangat mudah dan gampang
Sumpah! salah satu pertunjukkan paling gregetan barangkali ya, Wanci ini.
Sutradara barangkali luput mengukur tempo permainan aktornya
Sehingga energi aktor keluar tak tepat sasaran, miskin dinamika hingga berujung seolah-olah aktor dan dialog merupakan 2 hal yang terpisah
Aktor begitu ngebut sepanjang pertunjukkan, seolah-olah panggung adalah trek lomba lari 100 meter
Sehingga abai terhadap penonton yang duduk di lantai dingin yang berharap simpati dan empatinya tersentuh.
2. PRODO IMITATIO Karya Arthur S Nalan
A. Teater AKBS
Saat cahaya menerangi panggung, jujur saya cukup kaget dan terkesima dengan pilihan artistik panggung yang ditawarkan AKBS.
Sett latar yang megah pertunjukkan monolog dihadirkan dengan begitu serius oleh penyaji
Tata panggung dengan total diciptakan di atas panggung, mulai dari penjara, dinding ruang sipir yang berlumut hingga properti lainnya seperti meja dan lemari besi buku yang ditata cukup baik
Tapi dari itu semua, saya tertarik dengan ide menambahkan lampu 5 watt di penjara, hal itu cukup mengejutkan.
Sutradara secara sadar menempatkan suhu artistik yang berbeda antara penjara dan luar penjara, kendati keduanya dalam ruang yang sama
Hanya saja, keraguan mengeksplorasi levelitas cahaya tampak dalam pertunjukkan
Tampaknya sutradara lebih memilih bermain aman dalam tata cahaya, yang penting panggung terang menerangi permainan aktornya
Padahal peluang untuk mengecilkan atau memperbesar ruang permainan aktor begitu terbuka dalam pertunjukan
Tata busana aktor juga terlihat begitu digarap, menunjukkan keseriusan dalam penciptaannya
Menarik sekali melihat toga dan jas yang dipakai aktor yang kalau tidak keliru memakai karung goni
Penciptaan bunyi juga tampak terasa digarap oleh sutradara
Hampir setiap pengadeganan terdengar bunyi-bunyian yang mengiringi aktor di atas panggung
Namun yang jadi catatan penting adalah ansambel antara bunyi dan aktor yang masih lebih banyak melesetnya ketimbang tepatnya
Aktor dan bunyi seolah-olah musuh yang saling bertarung, bukan teman yang saling mensuport satu sama lain
Kecelakaan antara aktor dan bunyi terjadi akibat kurangnya latihan yang berulang, sehingga tampak aktor dan musik seolah-olah tak saling kenal satu sama lain
Namun jujur, di akhir pertunjukkan saat sesi diskusi karya juga sudah saya sampaikan kepada aktor
Saya benar-benar menikmati keyakinan yang teguh dari aktor Prodo Imitatio AKBS
“Akulah yang paling benar di atas panggung,” kira-kira begitulah yang bisa tergambarkan saat melihat akting aktor
Sesungguhnya, hal itu merupakan modal dasar kuat bagi calon-calon aktor hebat dimana pun
Namun hal itu bisa jadi pisau bermata dua, keyakinan harua disertai dengan kesadaran-kesadaran artistik lainnya
Saya merasa masih ada tembok tebal persis di depan panggung yang menyekat antara aktor dan penonton
Padahal berulang-ulang aktor mengucapkan “saudara-saudara” yang mengarah kepada penonton
Hubungan antara aktor dan penonton tidak berjalan dengan baik dalam pertunjukkan
Sementara tugas paling dasar aktor monolog di atas panggung adalah menyampaikan informasi, pesa dan makna kepada penontonnya
Hal itu yang tidak terjadi, entah apa penyebabnya, saya tak tahu persis
Kesadaran membangun koneksi dengan penonton sama sekali tak terlihat di dalam laku aktor di atas panggung
Ditambah lagi, pemilihan tempo permainan yang lambat untuk ukuran naskah Prodo Imitatio yang banyak menguak sisi autokritik, fenomena dan isu makro tentang bobroknya dunia pendidikan begitu sangat membuat saya gemas.
Ditambah lagi tuntutan blocking artistik dengan properti yang bukannya mendukung aktor, namun justru mempersulit permainan aktor beberapa kali terjadi di atas panggung
Katakanlah saat aktor ingin mengeluarkan buku dari karung, inilah contoh kecil bagaimana hal kecil bisa merusak tempo, bahkan memengaruhi psikologi aktor di atas panggung
Beruntung aktor tak terpengaruh dengan kerumitan artistik di atas panggung, ia tetap teguh pada keyakinan dirinyalah yang paling benar di atas panggung
Kesadaran itu lagi-lagi membuat saya tersenyum, sekaligus angkat topi oleh totalitas yang dipertontonkan aktor Prodo Imitatio AKBS
Aktor bak robot yang taat dan patuh terhadap arahan sutradara dalam lakunya di atas panggung
Bahkan yang paling memorable adalah pemilihan bentuk tertawa yang konsisten hadir dari awal sampai akhir pertunjukkan
Bagus sebagai ciri dan penanaman persona artisik, tapi jujur agak bosenin dinikmati tertawa template itu
Tertawa hapalan itu jadi distorsi yang cukup mengganggu, apalagi yang saya harapkan selain kejujuran di atas panggung?
Sepertinya aktor dalam latihan, harus sering-sering diskusi dengan sutradara dalam penciptaan pemerananannya
Jika tidak lucu, mengapa harus tertawa?
Untuk kesekian kalinya, monolog itu ujian aktor, tugas sutradara memberikan latihan yang sungguh dalam rangka memberikan pemahaman terhadap situasi pikiran dan perasaan tokoh yang diperankan
Sehingga saat panggung itu menyala, aktor bisa mengeksekusinya dengan baik dan lolos dari ujiannya
Sutradara sepertinya harus mengganti perintahnya, dari KAMU HARUS BEGITU menjadi KENAPA KAMU HARUS BEGITU?
B. Teater Air
Sebelum pertunjukkan dimulai, saya berdoa, kira-kira begini, “Ya Allah, pertemukan aku dengan tokoh antagonis yang bisa kubenci dengan tulus.”
Ternyata doaku setengah terkabul, setengah lagi tertunda.
Di mata saya, aktor Prodo Imitatio benar-benar jadi antagonis, tapi bukan pada pemeranannya, melainkan pada prahara tuntutan keaktorannya.
Sebagai seorang sutradara, saya begitu miris melihat aktor-aktor yang tersiksa di atas panggung
Jangankan berbicara soal rasa atau kedalaman pikiran peran yang dimainkan — soal tubuh yang bisa dilihat langsung dengan mata, pun wicara yang bisa didengar langsung lewat telinga saja hampir semua serba fals
Namun di antara ketersiksaan itu, keteguhan untuk menyelesaikan pertunjukkan lagi-lagi menjadi hal yang paling mulia bagi seorang aktor
Tengok saja, aktor tak mundur selangkah pun, saat ia tampak berusaha menggapai kegilaan artistik sutradara di awal mula pertunjukkan — meskipun terseok-seok.
Pilihan sutradara untuk tidak membuka tabir penyekat antara aktor dan penonton merupakan sebuah keberanian artistik yang penuh resiko
Ide untuk melakukan live streaming di atas panggung, berbicara dengan layar HP itu cukup mengejutkan
Sebuah eksplorasi pengayaaan visual yang sebenarnya tidak gegampangan dipilih
Sutradara tampak rutin mencari temuan dan peluang artistik yang tak biasa dalam penyajian Prodo Imitatio
Namun, tampaknya aktor cukup ngos-ngosan untuk mewujudkan harapan artistik sutradara
Saya tahu arah dan maksudnya sutradara, jika aktor mampu menunjukkan pesonanya — maka tak perlu bertatap mata untuk mengagumi seseorang yang jaraknya sekira 5 sampai 10 meter dari panggung itu
Itu akan jadi pengadegan yang jenius dan segar di mata orang yang puluhan tahun menonton pertunjukan teater
Tapi sayangnya, jarak antara aktor dan penonton justru melebar.
Saya sangat gemas, dengan aktor yang tak berani menghadapi kenyataan yang ada di depannya
Lebih-lebih aktor yang di atas panggung rela membohongi dirinya sendiri
Untuk bertukar tatap saja ragu, apalagi bertukar rasa dan pikiran? Dimanakah pesan itu mendarat? Bagaimana makna itu bisa mendekat?
Ini dugaan! bisa salah juga bisa benar, jangan-jangan aktornya yang malas melatih hal-hal dasar pemeranan, seperti vokal, pernafasannya, tubuhnya, rasanya dan pikirannya?
Atau jangan-jangan sutradara yang pasrah menajamkan keharusan dalam etos disiplin keaktoran
Tapi itulah panggung dengan seluruh kejujurannya
Tor! kali ini saya tidak akan minta maaf, telan saja kejujuran ini, sembuh, lalu bertarunglah kembali di panggung-panggung lainnya!
Semua hal pasti berlalu! Sedih akan berlalu, senang pun demikian. Keduanya sama-sama meninggalkan pelajaran.
◇◇◇
Namun, tak bisa dipungkiri bahwa pertunjukkan Prodo Imitatio begitu penuh dengan kejutan dan ide segar dari sutradara
Tampak sutradara berupaya mencari relevansi naskah Prodo Imitatio dengan fenomena yang aktual saat ini
Sentilan sentilun yang hadir lewat properti, hingga di beberapa pengadeganan cukup segar menjadi teror di alam pikir
Tak hanya itu, penyikapan sutradara terhadap elemen artistik mulai panggung, cahaya, bunyi dan tata busana/makeup begitu serius, sehingga mampu melayani beberapa indera saya
Tata panggung yang dikelola dan dihitung sedemikian presisi jadi salah satu hal yang bisa saya nilai penuh
Bahkan properti kecil yang menempel di dinding tampak dikerjakan dengan teliti dan sungguh, rasa-rasanya saya bisa memprediksi betapa sutradara harus memandangi dinding itu berkali-kali sebelum menyatakan “Ya, sudah pas,”
Rak buku berbentuk angka 8 itu, juga cukup meneror pikiran saya kalau boleh jujur
Pemilihan warna-warna yang ada di panggung dan busana sangat padu padan, mereka menyatu jadi satu kesatuan yang lezat
Pemilihan dinding hijau, meja dan kursi putih dijahit dengan jas merah aktor itu benar-benar merasuk, setidaknya penata panggung dan busana seakan-akan ingin menyampaikan bahwa mereka telah melakukan diskusi panjang terkait hal itu
Selain itu, penyaji harus saya akui berhasil menciptakan properti panggung yang sederhana, namun menyimpan kompleksitas tinggi
Jujur saja, saya begitu terkaget-kaget saat tiba-tiba cahaya black out
Lalu kemudian panggung berubah sedemikan cepat, “Bjirr, kapan berubahnya? Gimana caranya? Kok bisa?” keterkagetan itu diikuti dengan timbulnya banyak pertanyaan yang mengesankan.
Itu bagian yang di luar ekspektasi, sih! Salut.
Ya, kejutan artistik cukup deras mengalir di sepanjang pertunjukkan Prodo Imitatio Teater Air
Kesinambungan antar pranata artistik lumayan baik dalam eksekusinya di atas panggung
Jika pranata artistik itu adalah pakaian, maka sutradara berhasil merajut pakaian yang mewah dan indah untuk aktornya
Namun, barangkali sutradara lupa mengajarkan cara memakai baju mewah itu kepada aktornya saat berada di atas panggung.
Lagi, monolog itu ujian aktor!
3. MARSINAH MENGGUGAT Karya Ratna Sarumpaet
A. Teater Pobasis
Baju putih, rambut acak-acak, bangkit dari kubur jadi hantu dan darah yang muncrat sana-sini, begitulah Marsinah yang kerap saya jumpai di panggung teater
Ya, menonton pertunjukkan Marsinah Menggugat layaknya nonton film bergenre horor di Nettflix
Padahal perlawanan teks yang ditulis Ratna Sarumpaet jauh sekali sama urusan dunia perhantuan atau metafisik
Namun kebanyakan para penyaji pertunjukkan Marsinah Menggugat acap kali mudah terjerembab dalam situasi kehororan
Seperti Teater Pobasis yang menyuguhkan pertunjukkan Marsinah Menggugat dalam AKSARA 2025
Tidak ada yang salah dengan pilihan itu, hanya saja jangan sampai pemilihan visual artistik membenamkan esensi teks itu sendiri
Ingat, lho. Judul naskah ini ‘Marsinah Menggugat’ bukan ‘Hantu Marsinah’
Hal yang paling dasar untuk menaklukkan teks ini adalah menemukan apa yang dilawan Marsinah?
Untuk apa ia capek-capek bangkit dari kematian, lalu melontarkan gugatannya?
Apa gugatannya ditujukan kepada perusahaan yang tak menaikkan upahnya? Aparat yang membunuhnya? Pemerintah? Anggota DPR? Aktivis? Ketidakadilan? Hukum palsu? Atau jangan-jangan Marsinah menggugat pada kita, ya kita.
Menentukan siapa lawan yang disasar penulis teks, merupakan hal dasar yang kudu dituntaskan oleh Sutradara.
Barangkali dari sana, mampu memberikan arah tujuan yang jelas tentang arah pertunjukkan yang bakal dimainkan oleh aktor
Memang naskah Marsinah Menggugat ini bisa dibilang paling kompleks di antara teks yang lainnya
Kisah nyata yang dikaryakan baik untuk film dan teater, justru membuat siapapun sutradara harus berhati-hati dalam penggarapannya
Diperlukan referensi yang baik untuk membongkar ketokohan tokoh, identifikasi latar tempat dan waktu serta motif-motif di balik karya tulis dalam hal ini naskah
Jujur saja, bagi saya untuk level anak SMA, naskah ini lumayan berat untuk mereka jangkau
Menaklukan teks Marsinah Menggugat tidak cukup hanya bermodal imajinasi
Hasilnya ya, bisa kita lihat di pertunjukkan pada AKSARA 2025
Akting aktor di atas panggung kebanyakan tampak seperti hapalan
“Nanti blockingnya ke sini. Marah. Teriak. Teriak lagi. Lalu nangis. Di akhiri tertawa,” gambaran itu yang saya rasakan selama menonton pertunjukkan ini.
Aktor belum mampu melahap teksnya, baik pada level arus permukaan apalagi level kedalamannya
Ya, Aktor belum selesai dengan teksnya, sehingga yang tampak hanya seperti ia mengembara di ladang rumput yang tak berkesudahan, bagi saya.
Ditambah dengan daruratnya bunyi-bunyian yang hadir di atas panggung
Ia tidak masuk memberikan impresi positif bagi aktor, namun distorsi yang menyebalkan di atas panggung
Padahal di beberapa bagian, aktor cukup mampu menyampaikan dialognya dengan jelas, namun kecerewetan artistik bunyi pada akhirmya menenggelamkan dialog hingga permainan aktor di atas panggung
Catatan lain yang tak kalah penting, terlalu banyak hal yang diadegankan dalam pertunjukkan ini
Padahal saya begitu amat menantikan tatapan Marsinah jatuh tepat di kedua mata saya, lalu ia menceritakan pengalaman pahitnya, hingga melayangkan gugatan yang paling garang!
Namun kabar baiknya, saya melihat aktor begitu taat dan patuh terhadap garis yang telah ditentukan sutradara
Ia mampu meladeni keinginan sutradara dalam capaian artistiknya
Modal kepercayaan itu yang mahal, meski kalau kita cecar dengan jujur tentang laku yang ia mainkan di atas panggung, bisa saja ia tak memahami apa yang ia lakukan di atas panggung selama 38 menit itu
Pada soal keseriusan dalam tata panggung, saya merasa cukup baik dilakukan Teater Pobasis.
Namun saya agak gemas dengan pohon yang artifisial itu, padahal saya suka penciptaan nisan dan bangku coklat di taman pekuburan itu.
B. Teater Horison
Bolehkah saya melompat langsung ke momen diskusi karya untuk kali ini?
Saya benar-benar bahagia melihat aktor yang jujur dan luwes menceritakan tokoh yang ia perankan di atas panggung sekira 30 menit sebelum pertemuan itu
Cerita yang mengalir dan jernih, tanpa dramatisasi berlebihan dipertontonkan aktor dalam sesi diskusi
Rasa-rasanya saya ingin menilai aktor yang duduk di kursi itu, dalam situasi cahaya yang terang, lalu menguliti setiap kata-kata yang terlontar dari mulutnya pelan-pelan
Namun sayang, nak. Panggungmu yang sejati adalah aula SMA 4 Berau, bukan ruang kelas tempat pertemuan mata kita bertatap
Jujur, dahi saya auto mengerut selama 16 menit menatap panggung itu
Marsinah di atas panggung tampaknya kehilangan arah dan motif hampir di sebagian penuh pertunjukkan
Bergerak tanpa motif, aktor seperti terombang-ambing di dalam pusara keragu-raguan
Terlalu banyak mengadegankan adegan justru membuat energi aktor terbuang percuma
Walhasil, aktor kehabisan nafas di tengah hingga ujung pertunjukkan
Pilihan tata artisitik panggung yang membelah dua latar itu juga menyorot banyak perhatian
Sutradara tampaknya merupakan orang yang gampang percayaan terhadap teksnya
Padahal cara untuk menemukan kebenaran, sutradara harusnya mampu memberi jarak tertentu terhadap teksnya
Namun keberanian menyunting banyak teks, harus saya acungi jempol
Pengukuran kekuatan keaktoran dan tim artistik tampaknya dilakukan dengan baik oleh sutradara
Kendati menghasilkan resiko tertentu, pilihan tersebut bisa saja merupakan kebijaksanaan artistik yang hanya sutradara dan para timnya yang mengetahui baik-buruknya.
C. Teater Vokal
Izinkan saya tertawa sebelum membagikan pengalaman ini
Fun fact, pertunjukkan Marsinah Menggugat yang disuguhkan Teater Vokal membuat saya menulis catatan pertunjukkan hanya 2 kalimat
“Aktor yang menikmati dialog,”
“Kenapa rambut Marsinah panjang?”
Ya, dua kalimat itu saja yang saya catat selama pertunjukkan Teater Vokal berlangsung
Selebihnya plong… kosong.
Saat penonton tepuk tangan, saya baru sadar pertunjukkan berakhir dan catatan saya cuma dua baris saja hahaha..
Entah saya berada dalam puncak klimaks menonton 11 pertunjukkan atau mungkin saja ada ilmu khusus sehingga saya sampai terbuai sebegitunya dalam pertunjukkan.
Adegan pembuka yang kupikir cerdas diletakkan sutradara dalam pertunjukkan Marsinah Menggugat Teater Vokal
Tanpa musik yang war wer wor, hening dan dingin, aktor masuk dengan berjalan ke arah kiri panggung, lalu kembali lagi..
“Tadinya saya pikir Marsinah muncul lagi dari dalam kuburan. Ternyata dari panggung belakang, itu seru,”
Ya, memang cukup berat untuk menilai hantu Marsinah di atas panggung
Namun Sang Aktor mampu menjalankan kewajibannya dengan tunai
Sutradara mampu menemukan formulasi yang jitu menjinakkan naskah Marsinah Menggugat tanpa harus memakannya bulat-bulat
Penyuntingan bahkan penggubahan plot alur cukup cerdas dilakukan sutradara
Plot bertele-tele dan bolak-balik Ratna Sarumpaet dibuat ringkas tanpa menghilangkan substansi naskah.
Sutradara mampu menunjukkan perlawanan yang tegas, kepada siapa Marsinah Menggugat
Bunyi-bunyi hadir dengan tepat, tanpa kesan grasa-grusu di panggung
Kemunculan bunyi terasa sekali membantu pembawaan aktor menyampaikan gugatan demi gugatannya
Pilihan nada dasar situasi dan suasana yang konsisten membuat pertunjukkan ini lambat, tapi merambat dengan nikmat
Bahkan di satu waktu, keheningan bunyi membuat telinga saya auto berimajinasi
Ruang kosong itu sangat-sangat sangat-sangat sangat saya bisa nikmati dengan khidmat
Didukung dengan kemampuan aktor mendeliver ceritanya yang mengesankan
Dialognya tampak indah didengar, seperti penyair yamg melantukan puisi, tapi dia berdialog!
Tegangan emosi bagian demi bagian dibawakan dengan lamat dan sabar
Sehingga informasi dari teks Marsinah begitu penuh mengisi relung kepala kita
Ya, setidaknya Marsinah ini lain daripada yang lain
Tubuhnya begitu siap menghadapi panggung itu. Pikiran dan batinnya melebur untuk menampilkan sebuah kejujuran, auranya bisa saya rasakan meski berjarak 25 meter dari tubuh aktor di atas panggung
Lihat saja dari awal pentas sampai akhir pentas, busana putih yang ia kenakan, tak setitik pun ternoda dengan warna merah. Salut!
4. TOLONG Karya Nano Riantiarno
A. Teater AKBS
Suara indah itu masih bisa saya ingat saat menulis catatan ini
Lagu yang dinyanyikan penata bunyi pertunjukan Tolong dari AKBS menyisakan kesan paling mendalam
Salah satu adegan penutup favorit saya di AKSARA 2025
Namun pertunjukkan bukan hanya sekadar nyanyian indahmu itu
Bunyi yang baik bukan hanya berasal dari alat atau instrumen yang mahal
Atau kemampuan penata memainkan perangkat bunyi-bunyian tertentu atau alat musik
Penata bunyi bertanggungjawab terhadap segala suara-suara yang hadir di atas panggung, bahkan sampai nada dasar aktor melafalkan dialog-dialognya
Kehadiran bunyi harusnya mewakili perasaan atau pikiran aktor, bukan masuk sebatas karena qiu dialog atau kesepakatan yang dilatih saja
Kesadaran untuk satu frekuensi dan senafas dengan aktor di panggung, barangkali dapat meminimalisir kecelakaan artistik
Wabil khusus penata bunyi dan cahaya, jadilah aktor bukan penonton, kendati kalian berada di sudut panggung yang tak terlihat siapapun itu
Ya, tetek bengek pertunjukkan begitu kompleks.
Aktor dan pergulatan pranata artistik pemanggungan menjadi keruwetan sekaligus keasyikan dalam proses penciptan bentuk visual di atas panggung
..Saya hanya membayangkan tata panggung penuh dengan logika penciptaan
Kaya akan manfaat, hadirnya tak menambah beban di pundak aktor yang sudah berat
Goresan yang ada apanya, bukan apa adanya
..Saya hanya bisa membayangkan bagaimana aktor bermain jujur di atas panggung
Lihatlah Mudasir dengan penuh, gambarkan ia dengan utuh, sehingga kami bisa merasakan kehadirannya yang setia menemani Sang Tokoh
Marahlah jika ada hal yang kamu rasa benci
Menangislah jika kantung matamu tak mampu lagi menahah air yang penuh itu
Teriaklah jika memang itu satu-satunya cara menyalurkan kepedihan dan kesakitan
Meraunglah, bahagialah dengan sungguh dan jujur
Jangan tunjukkan kebohongan, lantaran ia yang acap kali menyesatkanmu dengan begitu kejam
Panggung memang jahat, sayang. Ialah pengadilan yang paling jujur bagi aktor-aktor monolog
Sehebat apapun kau sembunyikan, panggung punya cara untuk menguak kenyataan yang sebenarnya
Terus berlatih, persiapkan diri dengan matang dan sungguh sebelum naik ke atas panggung itu
Pikiran yang tuntas, hati yang jernih, tubuh yang sadar merupakan tanggungjawab utama seorang aktor
Karena percayalah, orang-orang yang duduk di depanmu menanti dengan sabar simpati dan empatinya kamu ketuk
B. Teater Aswara.
Akhirnya ada aktor yang berhasil mencapai ruang simpati dan empati saya
Tolong yang disuguhkan Teater Aswara jadi salah satu pertunjukan terbaik yang mampu menembus dinding-dinding perasaan yang tebal ini
Perasaan aktor begitu meluap-luap di atas panggung. Permainannya sukses menghantam hati berkali-kali
Sasaran dialog yang dilontarkan mempunyai tujuan yang terang dan jelas
Saya merasa ingin menolong dia ke atas panggung, ini serius saya lontarkan di sesi diskusi karya bersama Teater Aswara
Lantaran magnet aktor yang cukup kuat membawakan peran dalam naskah Tolong Nano Riantiarno
Saya hampir-hampir iba saat aktor berulang kali menceritakan ketersiksaannya menjadi seorang TKI di Malaysia
Apalagi saat bagian penganiayaan, entah impuls itu datang dari mana, saya turut merasakan kesakitan yang dirasakan aktor di atas panggung
Ya, aktor mampu menyampaikan perasaan yang dialaminya dengan jujur dan sungguh-sungguh
Meski artikulasi blepotan sana-sini, namun rasa mustahil berbohong
Ia juga cukup sukses menghadirkan sosok Mudasir ke atas panggung lewat tatapan matanya
Ditambah sentuhan tata cahaya sebagai penanda kehadiran Mudasir, ia tak terlihat namun saya bisa merasakan keberadaannya di atas panggung
Pemeran Atikah dalam naskah Tolong ini jadi salah satu aktor dengan mikro akting terbaik
Gerakan kecil amat tersentuh oleh penggarapan sutradara, diimbangi dengan kemampuan aktor yang cukup mumpuni
Selain itu, tata panggung memberikan efek yang nyata kepada aktor, jendela kecil yang tak mampu digapai aktor itu, gue suka!
Peletakan cahaya di balik dinding itu juga mempertegas ruang lain yang berhasil menyeret imajinasi saya
Sett artistik itu sukses memberikan tekanan dramatik kepada aktor yang bermain di latar ruang bawah tanah
Namun gambar harimau malaya itu ada baiknya dipikir ulang, lantaran meruntuhkan logika tata panggung lainnya
Cukup disayangkan, namun beruntung aktor tampil gemilang di atas panggung
Cahaya aktor jauh lebih terang, ketimbang kepala harimau yang nempel di tembok bangunan itu.
Sutradara benar-benar harus bersyukur dengan totalitas aktor yang mempertaruhkan segalanya demi 34 menit yang berharga di panggung itu
5. AENG Karya Putu Wijaya
A. Teater Pobasis
Pada inti bumi, magma mengkristal karena suhu menurun. Magma yang sudah terkristalisasi tenggelam ke dasar ruang magma, lalu mendorong sisa magma ke atas. Ia menambah tekanan pada moncong permukaan, sebuah letusan terjadi saat katup permukaan tidak lagi mampu menahan tekanan maha dashyat yang berangkat dari inti energi.
“Aktor adalah magma!” kata pendek itu yang begitu saja terlintas saat menonton Aeng yang disuguhkan Teater Pobasis.
Energi aktor tampil meledak-ledak di atas panggung
Tubuh dan nafasnya jadi satu kesatuan yang saling merasuk satu sama lain
Permainan yang memerlukan daya konsentrasi yang tinggi
Tadinya saya berpikir aktor bakal kehabisan bensin di pertengahan jalan
Sialnya Alimin tampil begitu perkasa hingga akhir pertunjukkan, untuk semua energi besar itu, saya harus angkat topi tinggi-tinggi
“Rasanya ingin kembali menjadi SMA, menjadi muda dan meledak-ledak di atas panggung itu begitu mengangenkan,” ucapku dalam hati.
Namun aktor bukan hanya soal energi atau hasrat besar semata
Sutradara kudu lihai menata aktor liar itu di atas panggung
Sehingga ia tak hanya menjadi letusan gunung api, tapi magma yang mengalir dari puncak ke pundak gunung, lalu menjadi dingin mengaliri lereng dan membekukan daratan.
Energi besar itu harus dikelola dengan presisi, ketepatan dan timing pranata artistik pendukung aktor juga wajib mampu mengikuti energi yang meluap-luap itu; seperti bunyi, cahaya dan panggung
Ini pengakuan: bicara tubuh, aktor Aeng jagoan saya nomor satu!
Namun tampaknya aktor mengabaikan persoalan rasa, perkara pikiran dan prahara kesadaran panggung lainnya
Tembakan dialog memberondong seisi aula SMA 4 tanpa arah yang jelas
Telinga saya amat kesulitan menerima informasi dari dialog yang keluar dari mulut aktor
Semua serba deklaratoris, hampir-hampir tak ada dialog liris dalam pertunjukan
Sehingga membuat telinga ini begitu tegang dari awal hingga akhir pertunjukkan
Menelanjangi visual Aeng, tampaknya sutradara harus benar-benar menata dinamika dengan hati-hati
Perlu perenungan panjang, diskusi yang tak ada habis-habisnya antara aktor dan sutradara, mengupas seluruh hal-hal reflektif di setiap kisah yang dituangkan Putu Wijaya dalam kolase konflik kebatinan seorang Alimin dalam naskah Aeng
Saya benar-benar mendambakan Alimin menjadi kru bajak laut Topi Jerami dalam dunia One Piece
Sebagai bajak laut, mereka dicap penjahat, tapi hampir semua orang di dunia ini menyukai segala laku dan perangai mereka.
Profil Fachri Mahayupa
Muhammad Fachri Ramadhani, S.I.Kom, dikenal berbagai kalangan dengan nama penanya, Fachri Mahayupa. Namun kerap disapa Ikun (Nama pemberian dari Yupa).
Catatan pendidikan laki-laki kelahiran 19 Maret 1992 di Jakarta memulai jenjang pendidikan pertamanya dari SDN 010 Samarinda, dilanjutkan SMPN 10 Samarinda, kemudian SMAN 8 Samarinda dan S1 jurusan Ilmu Administrasi, Program Studi Ilmu Komunikasi pada 2009 di Universitas Mulawarman (Unmul) Kalimantan Timur.
Mulai aktif didunia kesenian khususnya teater pada 2006 silam di salah satu teater sekolah di Samarinda (Teater Mahardika), juga pernah tercatat sebagai anggota biasa Teater Yupa Universitas Mulawarman Kalimantan Timur 2009 – 2015. Serta tercatat sebagai anggota Mahardika Umum dan Komunitas Belajar Teater Samarinda (Teater Umum).
Pernah menjabat sebagai Humas pada kepengurusan 2009-2010, Kepala Divisi Pengembangan dan Pendidikan 2010-2012 UKM Teater Yupa Unmul. Koordiantor Wilayah Forum Komunikasi Teater Kampus Kaltim 2010-2011, Direktur Artistik BelajarTeater sampai saat ini.
Dikenal sebagai pelaku artisitik, aktor, penulis dan sutradara Kalimantan Timur. Malang melintang di dunia teater, sejumlah pementasan dan garapan pernah dicicipi, di antaranya;
“….Aktor pementasan AA, II, UU karya Arifin C Noor (Festival Teater Sekolah, 2006), Aktor dan Sutradara naskah AA, II, UU Karya Arifin C Noor (Pentas Tunggal Teater Mahardika, 2007). Aktor dan Sutradara Sang Naga Dan Harimau Karya Titin (Pentas Tunggal Teater Mahardika, 2008). Aktor Air Mata Di Ujung Bendera Karya Saery Pane Kayus (Pentas Tunggal Teater Mahardika Umum, 2009). Sutradara Nina Bobo Karya Simanjuntak (Pentas Malam Keakraban Teater Yupa, 2009). Aktor dan penata artistik Pelacur dan Sang Presiden Karya Ratna Sarumpaet (Pentas Tunggal Teater Yupa, 2010). Sutradara Pagi Bening Karya Seravin dan Joaquin (Festival Teater Remaja Jakarta, 2011). Kepala Artistik Monolog Wanci Karya Imas Sobariah (Peksiminas X Pontianak, 2011). Kepala artistik Naskah Polisi Karya Slawomir Mrozek (Pentas Tunggal Teater Yupa dan Festamsio 5 Palembang, 2011). Sutradara Naskah AUT karya Putu Wijaya (Pentas Tunggal Teater Semar Pitoe, 2012). Sutradara Naskah Orde Mimpi Karya R. Giryadi (Pentas Tunggal Teater Yupa, 2012). Kepala artistik Naskah Los Bagados De Los Pencos Karya W.S Rendra (Pentas Tunggal Mahardika Umum, 2012). Aktor Naskah Orkes Semut Karya Selamat Er Riyadhi (Festamasio 6 Suarabaya, 2013). Aktor Monolog Ruang Karya Ferry Bhathara (Pentas Tunggal Belajar Teater dan Festival Teater Se-Kalimantan, 2012). Aktor monolog Naskah Black Jack Karya Benny Johanes (Lanjong Art Festival bersama Belajar Teater 2013). Kepala artisitik BOOM Karya Fachri Mahayupa (Pentas Tunggal bersama Belajar Teater 2013), Sutradara monolog Naskah Revolusi Tinja Karya Sri Harjanto Sahid (Stigma 3, Jawa Barat bersama Teater Yupa), artistik naskah Pada Suatu Hari karya Arifin C Noer (roadshow, bersama Teater Yupa 2014), sutradara Senjakala Negara Republik Binatang Rimba karya Sri Hardjanto Sahid (Pentas keliling, bersama BelajarTeater 2014), kepala artistik Presiden Kita Tercinta karya Agus Noror (pentas tunggal bersama BelajarTeater 2014) Sutradara naskah RE- Karya Fachri Mahayupa (Festamasio7, Bandung 2015), Sutradara naskah Liang Karya Putut Buchori (Pentas tahunan Teater Mahardika 2016), Sutradara Berusaha Melawan Lupa Karya Acep Zamzam Noor (2017, Lanjong Art Festival), Sutradara Naskah Membaca Tandatanda Karya Rachman Sabur (2018)…”
Serta masih banyak pementasan-pementasan kecil lainnya baik dipercaya menjadi aktor maupun Sutradara.
Sederet rekam jejak dan prestasi yang pernah ditorehkan putra kedua pasangan Rochmani Abdoellah dan Maimanah, seperti:
1. Penyaji Terbaik 1 sekaligus aktor Festival Monolog di Banjarmasin (2012)
2. Nomine aktor terbaik Festamasio 6 Surabaya (2013)
3. Penyaji Terbaik 1 sekaligus Sutradara Terbaik Festival Monolog Mahasiswa Nasional 3 Jawa Barat (2015)
4.Penyaji terbaik sekaligus nomine penulis naskah terbaik, sutradara terbaik Festamasio 7 Bandung (2015)
5. Penyaji terbaik 1 Festival Teater Remaja Yogyakarta (2016)
6. Sutradara Terbaik Lanjong Art Festival International tangkai monolog (2017)
7. Juri Festival Teater Putih Abu-abu se-Sulbar Kosaster Siin Unasman (2018)
8. Juri Festival Teater Apresiasi Seni dan Sastra (Apsetra) UKM Yupa Unmul (2023)
9. Menikahi Deshinta Millenia Dewi (2022) dan dikarunia seorang putra bernama Kun Arusha Motaz (2023)
Hingga saat ini menjadi alumni Teater Mahardika SMAN 8 Samarinda, Teater Yupa Unmul, anggota BELAJAR TEATER Samarinda dan aktif sebagai wartawan Tribun Kaltim Kompas Gramedia Group dan owner Setiap Hari Coffee Samarinda. (Red)